Ternyata Kita Begitu-begitu Saja
Tidak semua buku yang dibaca bisa dimengerti dan dipahami dengan mudah, ada yang mesti dibaca berulang-ulang di bagian tertentu atau bahkan membaca keseluruhan isi buku. Buku kumpulan essai misalnya, terlebih yang "aslinya" diterbitkan puluhan tahun yang lalu. Banyak memang yang nilai-nilainya masih relevan hingga sekarang, tetapi ada juga yang mesti dipahami terlebih dahulu konteks tulisan tersebut saat keluarnya, atau peristiwa apa yang kemudian dikomentari atau ditanggapi.
Barangkali karena "telat lahir" dan "telat kenal", saya membaca beberapa buku kumpulan essai yang terbit puluhan tahun lalu, bahkan umur tulisannya lebih tua daripada umur saya sendiri. Tahun lalu sempat baca bukunya Gus Dur, semenjak dua tahun lalu malah mulai membaca bukunya Cak Nun, mayoritas tulisan keduanya berumur puluhan tahun, saat keduanya begitu aktif menulis di media massa. Ada jurang pengetahuan sehingga kadang sulit menemukan relevansinya, tentu saja faktor diri sendiri yang kurang pengetahuannya juga bisa berpengaruh.
Hal-hal yang biasanya bisa saya tangkap dan juga bikin saya kaget adalah terkait umat Islam sendiri. Saya kadang terkejut karena ternyata fenomena yang terjadi mirip atau sekadar berbeda bentuk. Sebagai contoh, hal yang ternyata dari dulu hingga sekarang yang masih sama adalah pemahaman umat Islam terhadap agamanya sendiri, atau hal-hal yang bisa disebut sebagai bentuk nyata dari al islamu mahjubun bil muslimin, (kemuliaan) Islam terhijabi atau tertutupi oleh orang Muslim sendiri. Biasanya yang menjadi "oknum" adalah mereka yang perilakunya malah menunjukkan nilai-nilai yang sebaliknya dari ajaran Islam sendiri. Haidar Bagir dalam salah satu tweet-nya bilang begini,
Nabi bilang senyum itu sedekah, kita tampil sangar.Nabi medamaikan, kita berantem terus.Nabi mengganti nama-nama buruk, kita memberi gelaran buruk.Nabi merahasiakan kemunafikan orang, kita me-munafik-munafikan orangNabi ajar sangka baik, kita dulukan sangka burukLalu, siapa yang kita tiru?
Hal-hal kontradiktif begitu yang memang menyedihkan, kita tahu Islam ini benar, kita tahu inilah dien yang Allah ridhai, kita khatam dengan segala kecemerlangan peradaban Islam masa lampau, dari semenjak masa Rasulullah Muhammad hingga berabad-abad kemudian. Semarak kita membikin kajian, memberi tahu sana-sini bahwa pada masa lalu umat ini begitu berjaya -katakanlah demikian, lalu kita -pada tataran bawah- hanya sanggup bernostalgia bahwa penemuan ini-itu ditemukan atau dimulai atau terinspirasi oleh para ilmuwan Muslim. Glorifikasi masa lalu hingga terjebak di dalamnya.
Soalan lainnya yang ternyata masih begitu-begitu saja misalnya kita terjebak dalam identitas lalu abai dengan akhlak. Kita senang mengacung-acungkan "bendera", menegakkan simbol namun rapuh pada aslinya. Kita terjebak hanya dalam satu pengertian bahwa muslim-kafir semata identitas yang statis. Kita sulit membuka ruang lain bahwa muslim-kafir -dalam karakteristik tertentu- berupa sifat yang dinamis. Saat seorang mengatakan bahwa ia tidak berani berkata bahwa dirinya muslim, ia sedang mengatakannya dalam kerangka kualitas, karakteristik, bukan dalam perihal identitas. Seorang muslim secara identitas pun bisa suatu saat kafir/kufur, yakni dalam perilakunya. Maka, kita mesti waspada dan jangan pernah merasa aman meski ibadah ritual (mahdhah) telah dilakukan, toh itu -mengutip ungkapan Cak Nun- "karya Allah". Semestinya ibadah mahdhah itulah yang kemudian melahirkan kebaikan dalam kepribadian atau akhlak pada sesama dan semesta.
Semoga kita terhindarkan dari keterjebakan dalam pemahaman Islam atau muslim sekadar identitas, tetapi luput dalam kualitas, agar kita bergerak tidak begitu-begitu saja.
No comments: