Tak Melulu Materi
Nyatanya tak semua hal melulu tentang materi, meski soalan materi bisa jadi yang menonjol. Saat sebagian berargumen, "Tidak semua bisa dibeli dengan uang", ada yang menyahut, "Tapi berbagai kebutuhan bisa dipenuhi jika kita memiliki banyak uang, bahkan untuk membantu orang lain." Pembicaraan begini bisa berlanjut, utamanya saat ada yang mengatakan kurang lebih begini sebagian kata-katanya,
Kamu bisa menyewa hotel dengan kamar ternyaman dan kasur terempuk, tapi kamu tidak bisa membeli nikmatnya tidur.Kamu bisa membeli makanan terenak yang disajikan koki terbaik di seantero jagad, tapi kamu tidak bisa membeli nikmatnya makan.
Nyatanya memang tak melulu soal materi, materi bisa membeli sarana, tapi tak bisa membeli rasa. Rasa sudah soalan yang lain lagi. Rumah dalam artian fisik bisa kamu beli, namun rumah dalam artian sebagai tempat kembali yang kamu rasakan kenyamanan, kehangatan, ini yang tidak bisa dibeli. Rasa.
Tak melulu materi berlaku juga untuk soalan rezeki. Saya tergelitik ketika membaca judul tayangan berita di salah satu televisi swasta yang kurang lebih mengatakan bahwa akibat Corona, rezeki pedagang menurun. Ha! Hebat betul mereka bisa memastikan rezeki seseorang atau suatu kalangan profesi menurun karena pandemi, akan lebih masuk akal dengan kata "rezeki" diganti dengan, misalnya, "omzet" atau "pendapatan", dua hal ini lebih bisa diukur atau dihitung. Salah kaprah ketika mengatakan rezeki melulu soal materi, bila demikian maka Tuhan nggak adil karena yang kaya yang lebih banyak rezeki, yang tidak kaya tidak lebih banyak rezekinya, bila demikian menjadi tidak masuk akal, masa Tuhan nggak adil.
Rezeki yang selalu dianggap hanya terbatas materi membuat kita malah gedebugan mencari materi, harta, kekayaan. Orang sikut-sikutan mencari materi, sibuk memperkaya diri karena menyangka bahwa itulah yang dimaksud rezeki, miskin seolah menjadi hina dan kekurangan rezeki. Rezeki seolah menjadi sempit, Tuhan seolah pelit karena sedikitnya duit ditambah kondisi hidup sedang terhimpit.
Namanya rezeki bisa berupa selain duit. Nampak klise, tapi hal-hal non duit juga rezeki. Sehat terasa anggota tubuh, terang pengelihatan, jelas pendengaran, sempurna otot sendi bergerak, fasih lidah berbicara, de el el. Lebih jauh, terdengar klise memang, orang mengingatkan gratisnya udara yang terkandung di dalamnya oksigen untuk kita bernapas acapkali terlupa. Ia berkata jika dihitung-hitung saja dari sekadar oksigen, sampai kapanpun takkan terbayar.
Keluarga, teman, sahabat, kenalan, atau sesiapa saja yang memperlakukanmu dengan baik, yang kamu aman dan nyaman dengannya, juga bisa jadi bentuk lain dari rezeki. Orang shalih mungkin berkata bahwa bisa beribadah, berbuat baik pada sesama dan juga pada diri sendiri serta dijauhkan dari keburukan juga bentuk lain dari rezeki. Berkesempatan menghadiri kegiatan yang bermanfaat juga bisa jadi rezeki. Jelajahi saja sendiri kemungkinan lain yang merupakan bentuk rezeki, semisal hal-hal yang sekarang dirimu dapatkan dengan tanpa membayar padahal di suatu kondisi tertentu kamu mesti membayarnya. Kemampuan berpikir juga rezeki.
Kunci penerimaan bahwa semua tak selulu soal materi adalah rasa berkecukupan serta berterima kasih pada Yang Maha Pemberi Rezeki. Ada yang bilang bahwa ibadah pada-Nya selain sebagai bentuk ketaatan pada-Nya juga sebagai bentuk rasa terima kasih atau syukur. Rasa terima kasih ini setetespun tidak bersanding dengan apa yang telah diberi, baik yang diminta atau yang tidak diminta. Salah satu ucapan terima kasih pada-Nya adalah berterima kasih atas segala sesuatu, "Alhamdulillah 'ala kulli haal."
Barangkali sebagian kita tak bisa masuk logika tersebut, sedang sebagian para tetua merasakan hal tersebut. Kamu lantas berkata, "Ya, para tetua tersebut bilang begitu karena ia telah memiliki segala."
Justru karena ia telah memiliki segala, maka dapat memunculkan tanya, "Benar ia telah memiliki segala?" Kemungkinan ruang kosong dan hampa itu ada dan bisa terjadi. Kesadaran lalu muncul, itu hanyalah benda yang tak bergerak, jiwa lalu merangsek, mencari yang bisa mengisi hampa dan kosong. Suatu saat hingga ia menemukan yang bisa mengisi kehampaan dan kekosongan itu adalah sebuah jalan kembali pada Tuhan.
Di dalam agama ada tentang sikap zuhud, pelakunya dinamakan zahid. Ada yang berkata bahwa zuhud bukan atau tidak selalu berarti ia meninggalkan soalan keduniawian, namun ini soalan mental: jangan sampai ia dikuasi keduniawian meski ia memiliki berbagai banyak harta kekayaan. Ia kuasai harta dan tak bergantung padanya meski ia memilikinya dalam jumlah yang banyak, karena ia telah bergantung kepada Tuhan yang senantisa mencukupkan.
No comments: