Sekadar "Bercerita Melalui Tulisan"
"Bukan menulis! Tapi hanya bercerita melalui tulisan."
Kalimat ini seringkali saya ucapkan ketika menulis caption di foto yang akan saya unggah di akun Instagram. Kalimat untuk "menurunkan tekanan", entah tekanan apa, tapi saya merasa lebih ringan dengan menggunakan frasa "bercerita melalui tulisan."
Dipikir-pikir, barangkali hal ini dipengaruhi kekaguman saya terhadap para penulis. Saya merasa penulis (katib) adalah orang yang pandai membahasakan atau menuangkan isi pikirannya terhadap tulisan sehingga dapat dibaca serta dipahami orang selain dirinya. Penulis adalah mereka yang bisa "mengabadikan" dirinya serta bisa pula "menghidupkan kembali" tokoh-tokoh yang telah tiada.
Saya selalu mencontohkan Pramoedya Ananta Toer (Pram). Ia abadi melalui karya-karyanya, yang meski sempat dilarang pemerintah pada kurun masa tertentu, namun akhirnya kembali dapat dijual bebas dan dinikmati karyanya. Ia pula berhasil "menghidupkan kembali" Tirto Adhi Soerjo (TAS), yang dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia yang turut berperan pula dalam kesadaran nasional. Mungkin jika Pram tidak mengangkat TAS dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula, namanya tidak akan begitu dikenang seperti sekarang (meski tentu sekarang pun juga tidak banyak-banyak amat orang yang tahu).
Saya kira kekaguman inilah yang kadang agak berat kalau disebut menulis, bahkan seluruh tulisan yang pernah saya buat di blog lain serta blog ini pun mungkin lebih nyaman bagi saya untuk menyebutnya dengan frasa "bercerita melalui tulisan".
Ada beberapa alasan mengapa saya "bercerita melalui tulisan". Pertama, dengan menulis saya mengikat ingatan, berlatih menuangkan pikiran. Banyak hal yang saya tulis di Instagram misalnya, justru utamanya ditujukan untuk diri sendiri, dalam arti kebutuhan untuk bercerita, entah apa yang dibaca, dilihat, didengar, dialami, atau dirasakan. Saya selalu mengingatkan diri bahwa entah ada yang membaca atau tidak, teruslah menulis karena itu untuk kebutuhan saya pribadi, karena kadang pikiran saya seolah ingin meledak jika tak menuliskan sesuatu.
Kedua, menulis pun bisa menjadi semacam kapsul waktu. Saya masih bisa membaca tulisan-tulisan saya di awal-awal dekade ini, dan mungkin akan tertawa atau malu dengan apa yang ditulis. Ah, barangkali tulisan ini pun akan membuat saya tertawa atau malu ketika saya membacanya lagi beberapa waktu kemudian. Namun, akan menarik ketika melihat perkembangan (atau penurunan?) kualitas tulisan (yang dinilai sendiri) sejak awal dekade ini hingga sekarang dan nanti di masa mendatang. Bahkan saya terpikir untuk mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut, menyunting seperlunya, menyusunnya serta dicetak sendiri untuk menjadi koleksi.
Ketiga, saya membayangkan di kemudian hari, tulisan-tulisan tersebut menjadi bahan bagi saya untuk bercerita kepada keluarga, anak-cucu, tentang berbagai hal. Menarik.
Ada yang bilang, menulislah atau berkaryalah, entah kecil atau besar, yang penting bisa bermanfaat. Kadang kata-kata "hal yang bermanfaat" membebani saya, saat menuliskan sesuatu kadang terlintas "ini bermanfaat untuk orang lain apa tidak?" yang lantas terlintas pula "loh emang ada yang membaca?" juga "ingat, kamu menulis utamanya untuk dirimu sendiri, kan?" , pikiran-pikiran ini yang kadang berhasil membuat saya meneruskan apa yang telah saya tulis.
Beda Platform Beda Rasa
Berbeda rasanya saat menulis di blog dengan di Instagram atau Twitter. Di Twitter, mesti pintar-pintar memadatkan tulisan agar inti atau poin yang diinginkan tersampaikan dalam satu tweet yang maksimal hanya 280 karakter (dulu hanya 140 karakter). Twitter di satu sisi melatih untuk tak bertele-tele dalam menulis, tapi di sisi lain bisa menurunkan kekomprehensifan tulisan, dan ya tentu saja, Twitter memang pada mulanya disebut sebagai microblogging,
Instagram lain lagi, bisa menuliskan lebih banyak karakter namun tetap mesti bisa memadatkan tulisan. Di beberapa caption saya menulis bahkan mesti tersambung ke kolom komentar (yang kemungkinan besar semakin kecil tidak dibaca orang), karena nanggung sih, mau pendek tapi masih banyak yang bisa ditulis, mau panjang eh enggak cukup. Rasanya lain pula, menulis di Instagram lebih mudah dilihat meski belum tentu dibaca (sesungguhnya saya lebih senang ada komentar dibanding like. Ada komentar lebih membuat saya percaya bahwa tulisan tersebut dibaca, ha..ha..ha..).
Bagaimana dengan blog? Platform ini telah saya gunakan sekitar 10 tahun, meski tidak bisa rutin misalnya per sekian hari, atau seminggu sekali, bahkan sebulan sekali pun belum tentu. Namun, tetap saya syukuri ketika masih bisa menuangkan apa yang dipikirkan ke dalam tulisan. Menulis di blog ini enak juga, tentu saja bisa memformat tulisan dengan huruf tebal, italik, garis bawah, dan styling lainnya. Satu hal lain lagi, lagi-lagi, karena kemungkinan yang membacanya lebih sedikit (karena mungkin hitungan jari saja yang tahu, pun yang tahu pun mungkin hanya sekali pernah membukanya), maka saya merasa lebih bebas untuk menuliskan apa saja yang sedang ingin ditulis. Lebih bebas, lebih enak tak begitu terbebani. Ya memang seringkali saya memindahkan apa yang saya tulis di Instagram ke blog, dengan kadang penyuntingan di sana-sini serta memformat kembali untuk penyesuaian.
***
Ah, beginilah, saat menulis saya sering berada dalam kondisi antara "kamu nulis memang siapa yang baca?" dan "loh kan saya menulis untuk mengikat ingatan dan melatih diri sendiri." Agak aneh memang, menulis di internet yang bisa diakses siapa saja, tapi sebisa mungkin tidak mempromosikannya. Ya, kepuasan tersendiri saja bukan?
No comments: