Mengapa Tuhan Tidak Perlu Dibela?
Tuhan Tidak Perlu Dibela, begitu salah satu judul buku karya Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Buku ini merupakan kumpulan tulisan Gus Dur di berbagai media massa pada tahun 1970-an hingga 1980-an, meski ternyata ada beberapa tulisan yang ditulis awal 1990-an. Terbagi ke dalam tiga kelompok tulisan yang memperlihatkan pandangan Gus Dur terkait kritik keislaman di Indonesia, kenegaraan, serta pandangan terhadap situasi politik luar negeri pada tahun-tahun tersebut.
Judul buku tersebut diambil dari judul tulisannya yang dimuat di Tempo, 26 Juni 1982. Judul tulisan ini tidak jarang digaungkan ketika ada aksi atau demonstrasi yang dilakukan sebagian masyarakat dengan maksud membela agama. Kalimat itu tentu menjadi pro-kontra, meski saya tidak yakin sebagian orang di kedua kelompok tersebut telah membaca tulisan Gus Dur itu. Bisa jadi keduanya tidak memahami maksud tulisannya, maka hanya sekadar "iya-iya" setuju atau dengan makin marah menolak keras kalimat tersebut. Bahkan jika sekarang kita membawa dan membaca buku tersebut secara terbuka di kalangan tertentu, bisa jadi kita malah dilihat dengan tatapan yang tidak enak, atau kecurigaan.
Tulisan Gus Dur tersebut memang membuka mata, namun sepemahaman saya tidak berarti menolak mentah-mentah aksi-aksi, melainkan menyadarkan bahwa Allah itu Maha Besar, maha segalanya, sehingga mau dibela atau pun tidak, tidak berkurang sesuatu apapun dari Allah, pun sebaliknya. Kebenaran Allah tidak berkurang ketika orang meragukannya. Allah tidak menjadi lemah ketika tidak dibela atau tidak disembah sekalipun, ini yang mesti menjadi pengingat bagi sebagian masyarakat yang gemar beraksi dengan maksud membela Allah / membela Islam.
Gus Dur lantas mengutip ucapan Al-Hujwiri berikut,
Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘Ia menyulitkan’ kita. Juga tak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.
Menurut Gus Dur, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam, tidak perlu "dilayani." Cukup diimbangi dengan informasi serta ekspresi diri yang "positif konstruktif." Andaikan telah gawat, maka menurutnya, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja.
Maraknya berbagai aksi-aksi yang mengatasnamakan pembelaan terhadap agama, mungkin perlu dipikirkan kembali seberapa pentingnya, bahkan dilihat kembali motif yang melatarbelakanginya. Pun misalkan diperlukan aksi-aksi demikian, maka mesti diberi landasan bahwasanya Allah tidak menjadi lemah apabila tidak dibela. Maka, dengan memahami demikian, tentu tidak akan lagi keluar kata-kata semacam "...tidak akan disembah lagi di bumi," seperti yang terucap oleh salah seorang orator di sebuah aksi beberapa waktu yang lalu.
Tulisan Gus Dur yang ditulis hampir 37 tahun yang lalu itu ternyata masih relevan hingga sekarang. Bahkan bisa jadi, peristiwa yang dialami Sarjana X di tulisan tersebut ternyata sekarang pun masih terjadi. "Kemarahan" kaum muslimin yang ia lihat, barangkali mirip-mirip dengan yang terjadi belakangan ini. Bila iya, maka selain membuktikan relevansi tulisannya sendiri, tulisan tersebut pun bisa jadi menunjukkan di beberapa hal, ada yang tidak mengalami perkembangan di tubuh kaum muslimin di Indonesia, entah itu mudah reaktif menanggapi suatu hal, atau sebagainya.
Andaikan tulisan tersebut dibaca dan dipahami dengan jernih, saya kira dapat timbul reaksi positif atas informasi atau ekspresi yang menghinakan atau merendahkan Islam. Bisa jadi akan muncul sebuah ekspresi atau cara positif yang membangun, yang bisa mengimbangi atau mengalahkan penghinaan atau perendahan tersebut. "Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan pada serangan orang."
Di akhir tulisan, Gus Dur berkata, "Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak untuk dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan."
Ya, 37 tahun sudah berlalu, bagaimana perkembangan pembelaan-pembelaan tersebut?
Atau telah adakah suatu bentuk "pembelaan" yang membangun sebagai jawaban atas informasi atau ekspresi yang merendahkan itu?
No comments: