Semakin Tidak Tahu
Sungguh sepertinya diriku ini serba tidak tahu, bahkan khawatir menjadi jenis manusia keempat: ia yang tidak tahu bahwa ia tidak tahu. Tidak tahu bahwa aku kurang mahir dalam sesuatu hal, namun seolah-olah tahu serta mahir, atau bahkan tak menahan diri atas apa-apa yang sesungguhnya tidak aku ketahui. Pengetahuanku ini teramat sedikit, tak ada lagi kudatangi atau kuikuti diskusi-diskusi, makin sedikit tulisan yang kubaca, meski tak sedikit buku yang kubeli. Sungguh betul aku ini tidak paham, tidak tahu, tidak mengerti.
Sekarang-sekarang ini, dengan berbagai macam isu yang berkembang, berbagai macam peristiwa, ah sungguh betul aku makin tidak mengerti apa-apa. Ada ribut orang menolak khilafah, aku nggak paham betul apa khilafah itu. Ada yang meradang mendengar kata kafir, aku malah baru tahu ternyata kata kafir itu bisa luas maknanya. Ah belum lagi soal yang lain, orang ribut omong komunisme, sosialisme, kapitalisme, feminisme, dan berbagai isme-isme lainnya. Sungguh jauh aku dari kata mengerti.
Aku makin tidak mengerti pula, ketidaktahuanku akan hal-hal demikian apakah sebuah kebaikan, atau ketidakbaikan, atau tidak keduanya buat hidupku. Bisa jadi saat aku mengerti betul soalan itu, kemungkinannya minimal ada dua: pertama, aku bisa memberikan penjelasan yang baik bagi orang yang bertanya atau memerlukan, atau kedua, aku menjadi merasa tinggi atas pengetahuan yang sebetulnya juga bukan apa-apa. Selalu ada berbagai kemungkinan atas hal-hal yang telah, sedang, dan akan dijalani.
Belum lagi soal benar dan salah, ini lebih bingung lagi, lebih tidak tahu lagi, lebih tidak paham lagi. Sekarang ini sibuk betul orang memperselisihkan mana yang benar mana yang salah, mana hitam, mana putih, namun alpa dengan perilaku yang baik. Aku yakin kebenaran itu tidak relatif, tapi ia absolut, absolut berasal dari Allah, namun mencari, memahami, mempersepsi kebenaran itu yang relatif. Kebenaran itu letaknya di dalam, saat keluar berupa akhlak, berupa perilaku baik, demikian yang kupahami dari Mbah Nun.
Ah barangkali perlu kiranya aku sering ucapkan, dan maknai serta pelajari tentang iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in. Namun membaca iyyaka na'budu saja sudah mengerikan, apa betul sudah iyyaka na'budu? Apa jangan-jangan secara tidak sadar mengabdi kepada yang lain, lalai, mempertuhankan yang lain. Waduh, celaka betul kalau sampai begitu. Namun betul, aku berharap semoga kita senantiasa diberikan petunjuk di belantara kehidupan, diberikan petunjuk untuk terus berdoa, diberikan petunjuk untuk terus bergantung pada-Nya, diberikan petunjuk untuk mengikuti Rasul-Nya, serta diberikan kemudahan untuk mengikuti petunjuk-Nya.
Wallahu'alam.
Jakarta, 6 Maret 2018
No comments: