Ruang Sunyi
Hatinya kadang sesak setiap kali disapukan jempolnya ke atas-ke bawah, ke kiri - ke kanan, pada layar gawainya. Bukan, bukan tersebab merasa kurang, atau menjurus pada tak bersyukur, namun pada titik kesadaran, "Apa aku ini bagi orang lain? Bagi kawanku?"
Tak jarang pula ia teringat pada masa masa yang sama seperti yang ia lihat di gawainya, di linimasa berbagai aplikasi jejaring sosial yang berseliweran. Momen yang serupa, namun keadaan yang berbeda. Proses yang bisa jadi serupa, namun tak sama rasanya.
Teringat pula ia saat pengakhiran di suatu masa itu tiba, perjuangan berbulan-bulan yang akhirnya menemui titik akhirnya. Akhir masa studi, masa ujian yang kerap kali menjadi momen bahagia, bagi yang mengalaminya, bisa jadi bagi kawannya pula.
Nampaknya tak ada yang istimewa yang dipersiapkan untuknya selain "seremoni formalitas" yang akan dialami pula oleh kawan-kawannya. Satu-satunya momen istimewa baginya adalah saat mengabarkan berita gembira ini pada keluarganya: ibu-bapak dan saudara-saudaranya.
Kau tak akan melihat ada banyak foto tentangnya, di momen-momen istimewa yang bagi orang lain tentu lebih semarak. Semua berjalan dengan sederhana, sujud syukur ia dengan kawannya adalah juga momen berharga. Semua sangat sederhana, berjalan begitu saja, barangkali ia akan hilang pula di ingatan kawannya kelak.
Aku sadar, yang ia maksud saat menggali ingatannya itu bukan tentang tak bersyukur, sungguh kurang ajar kalau tak bersyukur, bukan pula merasa kurang, tapi menjadi satu renungan, keinsafan baginya: "Telah kutinggalkan kesan baikkah pada orang lain? Pada kawanku? Pada mereka yang mengenalku?"
Aku tahu, pikirannya selalu kembali ke memori peristiwa yang seharusnya istimewa namun berjalan begitu sederhana baginya, hanya formalitas yang ia dapat, ia tak yakin bila hal-hal formalitas itu tak ada, adakah yang datang padanya untuk sekadar mengucap selamat?
"Kau terlalu banyak diam," ujarku mencoba berbicara.
"Ya, karena memang aku tak senang terlalu banyak bertingkah."
"Bukan bertingkah," sanggahku, "Namun banyak-banyaklah bersama kawanmu, lebarkan senyummu, ajak mereka, mulailah pembicaraan, lawan kecanggunganmu."
"Sulit.."
"Mengapa?"
"Aku bukan orang yang mudah melawan kecanggungan dan memulai pembicaraan, terutama tentu saja pada yang tak dekat denganku, tahu sendiri kan kau?
"Persis, aku tahu persis itu, aku sekadar memberimu saran yang bisa jadi akan membuatmu merasa lebih baik."
"Terima kasih, tapi kurasa persoalan bukan di situ."
"Lalu?"
Mulailah ia bercerita lagi padaku, ia bukanlah orang yang banyak pengetahuannya, namun tidak bisa dibilang sedikit juga, ia membaca hal-hal ringan, menonton tokoh-tokoh berbicara -yang seringkali ia lihat dari gawainya, oh jarang sekali ia berkesempatan untuk melihat langsung.
Ruang sunyi. Itu katanya, itu yang ia rasakan. Sunyi, sendiri namun sekaligus memberinya kebebasan, sepi namun memberinya keleluasaan. Ia kadang tak mau terikat di luar rencananya. Ia terbiasa sendiri, ke mana saja, terutama ke tempat-tempat yang ia senangi, tak jarang hanya berdiam, mengamati sekitar, mengamati orang-orang yang menikmati waktu berkumpulnya, menikmati ruang publik, tapi terkadang juga ia membuka tasnya, mengeluarkan buku, dan mulai membaca, mencoba memasuki dunianya sendiri, yang baginya bisa begitu luas yang semakin bertambah sejalan dengan banyaknya lembaran demi lembaran yang ia buka, berharap ia mampu menyerapnya, meski tak jarang ia tak begitu paham akan apa yang dibacanya.
Ia lantas bercerita padaku, tentang kisah yang ia dapat dari buku yang ia baca, juga dari tayangan yang ia lihat. Ia ceritakan padaku tentang pria yang tak terpandang, tak diperhitungkan, tak disadari keberadaannya, tak merasa hilang orang-orang apabila ia sedang tak ada.
"Ia hidup di masa Nabi, ia sahabat, namun aku lupa namanya, sejalan dengan ia yang semasa hidupnya tak terlalu dikenal dan diingat. Aku hanya ingat namanya diawali huruf kedua hijaiyah."
"Lalu?"
Ia lanjutkan ceritanya. Sahabat ini lantas ditanya oleh Nabi apakah ia tidak mau untuk menikah? Tentu saja, namun siapakah yang hendak menjadikannya menantu? Berulang begitu di hari selanjutnya hingga akhirnya ia bersedia, diantarkan oleh Nabi ke rumah keluarga anshar. Terkejut dan senang sepasang suami-istri di sana karena kedatangan sang Nabi, lebih berbahagia lagi mereka saat sang Nabi hendak meminang anaknya. Namun, raut wajah mereka berubah tatkala mereka mengetahui bahwa sang Nabi meminang anak mereka bukan untuk dirinya, tapi bagi sahabat ini. Mereka berat, terlebih karena sahabat ini tak jelas asal-usulnya, sebatang kara di Madinah. Namun dari balik bilik, anak mereka yang shalihah ini bersedia dinikahkan dengan sahabat ini, karena tentu akan ketaatan dan kepercayaannya pada sang Nabi.
Pernikahan mereka tak lama memang, karena si suami akhirnya syahid tak lama setelah hari pernikahannya. Para sahabat berkumpul setelah pertempuran, ditanyai oleh sang Nabi, adakah mereka merasa kehilangan kawan? Dengan mantap mereka berkata, "Tidak, ya Rasulullah." Ditanyakannya untuk kedua kali, namun jawabannya sama, tapi dengan suasana yang berbeda, hingga akhirnya ditanyakannya lagi untuk yang ketiga kali, didapati jawaban yang serupa. Namun kali ini sang Nabi berkata bahwa ia kehilangan sahabatnya ini, diperintahkan lah semua untuk mencarinya, dan betul ia telah syahid. Di hari itu, sahabat ini menjadi orang yang begitu istimewa.
"Ah aku selalu mengingat kisah itu, tentang ia yang tak terpandang, tak diperhitungkan, tak diingat."
"Mengapa?"
"Aku berharap bisa seberuntung itu, namun aku sadar diri, dosaku lebih banyak dari kebaikanku. Setelahnya malah aku menjadi sedih."
Aku hanya terdiam saja.
"Aku sadar betul, tak begitu salah apa yang kulakukan, lebih banyak diam, lebih banyak sendiri, terkadang bukan pilihan, namun memang keadaan. Tapi masalahnya bukan di situ."
"Lantas?"
"Ruang sunyi ini hadir, saat aku seolah meniadakan kehadiran Tuhanku, Tuhanmu, Tuhan kita semua pada hati dan pikiranku. Ah betapa kacaunya aku."
Kata-katanya mengalir, kesadarannya lahir, air mata bergulir. Ruang sunyinya, tentang meniadakan keberadaan Sang Khaliq dalam hati. Aku merinding, betapa tak jauh lebih baik aku darinya.
Ruang sunyi. Ruang sunyi ini hilang saat kau mendekat pada-Nya, di titik itulah kau merasa tak sendiri, kau merasa cukup, kau merasa lengkap, tak ada sepi, tak ada sunyi, tak ada kosong. Semua terisi.
Jakarta, 13 Januari 2018
No comments: